Featured

0 Catatan Pejalanan Mzuh: Ke Kampung Buung Kabupaten Pangkep

Akhir pekan di bulan maret lalu, saya dan beberapa teman dari komunitas 1000_guru makassar mengunjungi salah satu lokasi daerah terpencil dikabupaten pangkep. Kami kesana untuk melakukan survey dan mengambil beberapa data dari sekolah didaerah tersebut untuk dijadikan bahan acuan dalam rangka kegiatan traveling and teaching 5 dari komunitas 1000_guru Makassar.

Berpose sebelum berjalan (Dokumentasi pribadi)
Berpose sebelum berjalan (Dokumentasi pribadi)

Setelah menyiapkan berbagai macam alat penunjang untuk berkegiatan dialam bebas serta ransum persiapan 2 hari, kami beranikan diri berangkat pagi-pagi buta. Informasi mengenai sekolah terpencil ini pun hanya kami dapatkan melalui situs blog sekolah tersebut dan beberapa informasi dari teman komunitas. Katanya sekolah ini adalah sekolah yang berada diatas gunung yang berada dikecamatan minasatena kabupaten pangkep. Mengenai titik lokasi pastinya kami hanya bermodalkan google maps dan navigasi mulut

Saat memasuki daerah perbatasan antara kabupaten maros dan pangkep, kami menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak sekaligus bertanya kepada warga sekitar mengenai posisi sekolah. Beberapa kali kami kesasar disebabkan karena kami memilih mengikuti informasi dari google maps padahal sebenarnya informasi tersebut kurang akurat untuk didaerah pedalaman.

Setelah beberapa jam kami berputar-putar dan dapat jalan buntu, akhirnya kami menemukan petunjuk tentang lokasi sekolah yang akan kami kunjungi. Mungkin karena bantuan Tuhan dan niat untuk kegiatan sosial jalan kami dibantu, Kami kesasar dirumah penduduk asli daerah tersebuat disekitar ibukota kecamatan minasatene. Ia berkata “cari mki penjual lemari dijalan berbentuk 8, jalan menuju daerah tondong tallassa itu, terus bertanya mki disitu”.

*****

Berbekal informasi yang kami peroleh, perjalanan kami lanjutkan. Tak sulit untuk menemukan “Penjual lemari di jalan berbentuk 8, jalan menuju daerah Tondong Tallassa” karena waktu tahun 2009 saya pernah melewati jalan itu untuk kegiatan pengkaderan kampus.

Setelah sampai dilokasi yang dimaksud, kami singgah dan bertanya kepada warga, ternyata lokasi sekolah ini memang betul berada diatas gunung. “Itu sana diatas sana” Kata salah seorang warga. Beberapa teman yang ikut ceklok sontak kaget, apalagi warga disana mengatakan “pernah ada mahasiswa juga itu naik, tapi dipertengahan jalan pinsan ki”. Memang akses lokasi sekolah mengharuskan kami untuk berjalan kaki selama kurang lebih 2 jam dengan medan menanjak terus sampai dikampung lokasi sekolah tersebut.


Pemandangan di bulu tellue (dokementasi pribadi)

Saat itu kami diskusi dan menyepakati untuk tetap naik. Setelah menyimpan motor dirumah bapak penjual lemari tersebut, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Selama perjalanan pun kami terus mensupport satu sama lain karena beberapa dari kami baru pertama kali merasakan sensasi naik gunung, belum lagi medan yang menanjak.

Saat dipertengahan jalur pendakian, kami bertemu dengan warga yang membawa batu merah dan menyimpannya diatas kepala mereka yang tak kalah lagi mereka adalah ibu-ibu kampung buung, daerah yang akan kami datangi. Setelah berbincang dengan warga tersebut kami lanjutkan perjalanan dengan sisa-sisa stamina yang kami miliki.

Saat tiba dikampung buung, kami disambut dengan embun dan hamparan padi yang telah menghijau. Sungguh pemandangan yang nikmat, sekejab rasa lelah kami hilang dan segera mungkin melanjutkan perjalan karena saat itu hari hampir gelap.

Hujanpun semakin deras sehingga membuat kami harus beristirahat kembali dirumah-rumah sawah warga setempat. Sembari menyeduh kopi dan menikmati beberapa cemilan banyak warga yang lewat sambil menebar senyum serta mengajak kami untuk menginap dirumahnya. Memang warga didaerah ini sangat ramah dan bersahabat.

Rumah Sawah dan Kabut ditengah sawah warga

Beberapa jam hujanpun tak kunjung reda, jadi kami memutuskan untuk tetap dirumah-rumah sawah itu dan kembali menunggu ajakan dari warga sekitar untuk menginap dirumah mereka. Sampai hari semakin gelap ajakan itupun tidak datang kembali, mungkin karena hujan yang semakin deras jadi warga tak kembali datang. Untuk mengisi waktu kami lebih banyak bercerita serta berbagi pengalaman saat,ada juga teman kami,pimen yang selalu berfantasi. “Enaknya ini klo ada pisang goring coklat sama teh hangat” cetus pimen.Sontak kalimat itu memecah tawa kami.

Yang ditunggu-tunggu pun datang, seorang anak laki-laki datang dan mengajak kami untuk menginap dirumah, segerapun kami iyakan karena beberapa dari kami juga sudah sangat kedinginan. Setelah berkemas, kami harus berjalan beberapa meter melintasi pematang sawah untuk sampai dirumah warga, memang dikampung ini tidak ada jalan seperti daerah-daerah pada umumnya, satu-satunya jalan adalah melewati pematang sawah.

Saat tiba dirumah warga, kami harus memanjat pagar bambu rumah tersebut. Memang disini semua rumah memakai pagar bambu yang harus dipanjat dikarenakan banyak hewan-hewan liar termasuk babi hutan.

Kami menempati rumah ibu Condong, memang rumah ini sangat sepi hanya beranggotan 3 orang; nenek,ibu condong, dan seorang anak laki-laki usia 9 tahun. Setelah disambut dengan hangatnya penerangan dari lilin, kami disajikan pisang goring cokelat dan teh panas, seolah-olah ibu condong mendengar fantasi pimen saat dirumah sawah tadi. Padahal jarak rumah warga dikampung ini saling berjauhan, tidak seperti kebanyakan. Selain itu daerah inipun tidak ada listrik, penerangan hanya mermodalkan lilin, pelita, dan senter.

Malam semakin larut, pisang goreng pun telah habis. kami memutuskan untuk beristirahat karena masih ada tugas yang harus kami kerjakan esok harinya.

====

Catatan Perjalanan : Bulu Tellue, Kampung Buung Kabupaten Pangkep [Hari Kedua]

Hari kedua saat kami berada di Kampung Buung kabupaten pangkep.

Setelah menghabiskan waktu semalaman dirumah ibu condong. Keesokan harinya kami bergegas untuk melanjutkan tujuan kami datang di kampung buung pangkep. Sembari menunggu teman-teman yang lain mandi dan dandan saya keluar menikmati indahnya suguhan alam kampung ini. Udaranya yang dingin serta hamparan sawah yang sangat luas menjadi kenikmatan sendiri bagi saya. Maklum saya lahir dan besar dikota Makassar, pemandangan seperti itu sangat jarang saya rasakan.

Perjalanan ke kampung Buung Pangkep (dokumentasi pribadi)

Sehabis berpamitan dengan keluarga ibu Condong, kami kemudian menuju ke SD 60 Bung. Ini adalah satu-satunya sekolah dasar yang dimiliki kampung ini. Sekolah yang bersatu atap dengan SMP 4 Minasetene ini, memiliki jumlah siswa sebanyak 61 orang padahal jumlah rumah penduduk dikampung ini hanya sekitar kurang lebih 10 rumah. Lantas darimana siswa-siswi ini?

Ketika kami tiba di SD 60 Buung, suasana sekolah sangat sepi. Yang ada hanya sekumpulan warga sedang bergotong royong membangun masjid untuk warga setempat. Ternyata hari itu aktifitas sekolah diliburkan karena hari itu adalah hari libur nasional.

SD 60 Bung (dokumentasi pribadi)

Namun, beruntunglah kami dapat sedikit informasi dari Pak Ari selaku ketua RW setempat. Ia mengatakan sekolah ini memiliki jumlah siswa sebanyak 61 orang sedangkan jumlah rumah penduduk dikampung ini hanya sekitar kurang lebih 10 rumah. siswa-siswa banyak berdatangan dari gunung-gunung sebelah, jajaran gunung Bulu Tellue.

Menurutnya semenjak sekolah ini berdiri pada tahun 2007 anak-anak didaerahnya kembali mengenyam pendidikan. Padahal ditahun-tahun sebelumnya banyak dari penerus mereka putus sekolah dikarenakan sekolah dasar sangat jauh dari daerahnya butuh waktu berjam-jam dengan harus berjalan kaki naik turun gunung.

Kemudian Pak Ari menjelaskan tentang kondisi tenaga pengajar disekolah tersebut. Ternyata para guru hampir tiap hari harus naik turun gunung dan berjalan kaki selama 2 jam untuk mengajar. Hal ini disebabkan karena para guru sudah bermukim dikota pangkep. “Rata-rata sudah berkeluarga mi semua, jadi pulang balekki kodong mengajar” kata Pak Ari.

Sontak kalimat dari pak Ari membuat saya kagum kepada guru-guru ini. Mereka rela menunaikan tugas mulia mereka untuk memberi pengetahuan kepada anak-anak kampung buung walaupun kondisi medan mengharuskan mereka berjalan kaki naik turun gunung tiap hari. Suatu hal yang sangat jauh berbeda dengan tenaga pengajar diperkotaan. Di kota, para guru tidak perlu untuk berjalan kaki ataukah naik turun gunung untuk mengajar tapi masih saja banyak dari mereka yang selalu mengeluh soal jarak sekolah dari rumah mereka.

*****

Didaerah ini juga sangat jauh dari perhatian pemerintah. Jangankan akses jalan untuk kendaraan, Listrik dan jaringan komunikasi belum ada, padahal di era sekarang listrik dan jaringan komunikasi boleh menjadi kebutuhan primer orang-orang diperkotaan.

Untuk kebutuhan warga, tak ada jalan lain selain turun gunung untuk membeli kebutuhan yang mereka perlukan. Inilah keunggulan warga kampung buung, budaya gotong royong masih mereka junjung. Informasi yang diperoleh dari Pak RW setempat, karena tidak adanya akses jalan untuk kendaraan, mengharuskan warga menggotong dari kaki gunung sampai kekampung mereka, padahal akses dari bawah begitu sulit, medan yang menanjak terus dan waktu tempuh selama 2 jam mereka lalui.

Perjalanan ke puncak bulu telleu pangkep

Setelah berdiskusi dengan pak RW, kami kemudian melanjutkan perjalanan mencari lokasi-lokasi yang cocok untuk dijadikan tempat traveling. Ada satu titik yang kami cari yaitu puncak gunung bulu tellue. Dengan berbekal informasi dari warga sekitar kami pun pergi ke puncak tersebut. Ditengah perjalanan kami menyepakati untuk beristirahat sambil mencari jalur yang tepat. Dua orang teman kami, Pimen dan Arwan menawarkan diri mencari jalur menuju puncak. Setelah menunggu kurang lebih 60 menit, mereka kembali dengan penuh keringat karena sempat salah jalur dan tersesat. Setelah mendapatkan beberapa informasi dari mereka, kami menyepakati untuk lanjut menuju puncak tersebut. “Salah-salahki klo nda sampe puncak kawan” kataku sambil menyemangati mereka.

Medan menuju puncak begitu berat memacu adrenalin kami, kami harus melewati punggungan gunung yang begitu rapuh. Kami harus berjalan sangat hati-hati dikarenakan melintasi pinggiran-pinggiran jurang. Beberapa temanpun sering terpeleset.

Begitu tiba dipuncak, senyum teman-temanku semangat lebar, tak jarang dari mereka mengeluarkan smartphone untuk mengabadikan momen itu. Memang sensasi berada dipuncak begitu luar biasa. Namun, keindahan pemandangan puncak saat itu ternodai dengan hancurnya gunung-gunung karst dikabupaten pangkep.

Mengabadikan moment dipuncak bulu tellue (dokumentasi pribadi)

Setelah berfoto-foto dan istirahat sejenak, kami kembali pulang kerumah warga kampung buung tempat kami menginap. Ditengah perjalanan kami beberapa kali harus tersesat. Entah mungkin karena lupa memberi tanda atau memotong jalur kami tersesat di punggung gunung bulu tellue. Kami terus berputar-putar mencari jalur pulang namun tetap menemui jalan buntu. Untungnya pimen yang memang mahasiswa pencinta alam sudah terbiasa dengan situasi ini. Ia meminta kami untuk tidak panik dan tetap fokus.

Teriakan-teriakan khas anak gunung “piiiiuuuu” beberapa kali terdengar. Dalam benak saya, mungkin warga kampung buung datang mencari kami yang telah berjam-jam tidak kembali. Namun begitu membalas teriakan itu,tidak ada balasan kembali. Begitu seterusnya, sampai saya sempat mengingatkan kepada pimen untuk berhenti dan mencari sumber suara tersebut. Namun pimen menolaknya. Ia berkata “Janganmi bro, tidak ada juga tadi orang naik. Mending kita carimi jalur yang tadi kita lewati”.

Saya kemudian bertanya-tanya darimana asal suara itu,padahal memang tidak ada orang lain yang naik selain kelompok kami. Mungkinkah makhluk lain? Entahlah,yang dalam benak saya hanyalah mencari jalur untuk kembali pulang.

Setelah beberapa jam berputar-putar akhirnya kami kembali menemui jalur yang telah kami lewati. Memang seharusnya ketika hilang jalur, para pendaki sebaiknya terus berusaha untuk berpikir jernih tidak panik sehingga menimbulkan masalah-masalah baru. Dibutuhkan ketenangan dan kerjasama yang baik untuk menyelesaikan masalah ini.

Perjalanan pulang kembali ke makassar (dokumentasi pribadi)
Perjalanan pulang kembali ke makassar (dokumentasi pribadi)

Setelah sampai dikampung buung ,beberapa dari kami singgah di air terjun untuk menyegarkan badan dan beberapa perempuan pulang kerumah ibu condong untuk menyiapkan santap siang.Selesai santap siang, kami berpamitan untuk kembali kemakassar dengan janji akan kembali lagi kekampung tersebut memberi sedikit bantuan buat siswa-siswa kampung buung.

Sumber : https://mzuh.wordpress.com/
Read more
 
Powered by Blogger